Najis yang Diperselisihkan Bag. 2 (Air mani, Muntah dan Kotoran Hewan)

C. Air Mani

Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Sebagian ulama mengatakannya najis dan sebagian lain mengatakan tidak najis.

1.    Jumhur Ulama : Najis 

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, AlMalikiyah, dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis.

Dasar bahwa air mani itu najis adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, dimana beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau.
 
Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk shalat meski pun masih ada bekas pada bajunya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu juga berpendapat bahwa air mani itu najis. Beliau mengatakan bahwa air mani itu sederajat dengan air kencing yang hukumnya najis.

Al-Malikiyah mengatakan bahwa air mani itu najis karena mereka mengatakan bahwa asal muasal air mani itu adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah (perubahan wujud) sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu najis

2.    Mazhab Asy-Syafi’iyah : Tidak Najis

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian. 

Apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
 
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)

Dahak dan lendir bukan merupakan benda najis, meski pun menjijikkan buat sebagian orang. Dan karena air mani disetarakan dengan dahak dan lendir, maka otomatis kedudukan air mani bukan benda najis.

Selain dalil di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berdalil dengan hadits shahih berikut ini :
 
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau SAW shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dilakukan oleh Aisyah bukan mencuci baju tetap mengerik bekas air mani yang telah kering. Tentu saja kalau hanya dikerik tidak akan membuat air mani itu hilang sepenuhnya.

Dan kalau sampai Nabi SAW shalat dengan mengenakan baju yang masih ada bekas maninya, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya air mani itu tidak najis

D. Kotoran Hewan Yang Halal Dagingnya 

Di negeri kita, umumnya para ulama sepakat bahwa air kencing dan kotoran hewan termasuk benda najis. Namun kalau kita telusuri lebih dalam, ternyata ada juga pendapat yang agak berbeda, dengan mengatakan bahwa ada jenis hewan yang air kencing dan kotorannya bukan termasuk najis, yaitu khusus hewan-hewan yang daging dan susunya halal dimakan.

1.    Najis

Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah menegaskan bahwa semua benda yang keluar dari tubuh hewan lewat kemaluan depan atau belakang adalah benda najis. Tidak perduli apakah hewan itu halal dagingnya, atau kah hewan itu tidak halal.

Maka dalam pandangan kedua mazhab ini, air kencing dan kotoran hewan, hukumnya najis.   Dasarnya kenajisan air kencing dan kotoran hewan  adalah sabda Rasulullah SAW :

Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud sebuah batu untuk istinja', namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)

Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)

Kalau pun ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di dalam kandang kambing, dalam pendapat mereka bukan berarti beliau shalat di atas tumpukan najis, tetapi menggunakan alas, sehingga tetap tidak terkena najis.

Demikian juga ketika Rasulullah SAW membolehkan seorang shahabat yang meminum air kencing unta sebagai pengobatan, dalam pandangan mereka hal itu terjadi karena darurat saja. Sebab minum air kencing unta itu bukan hal yang lazim dilakukan setiap hari. Sejorok-joroknya orang Arab atau penggembala unta, tidak ada yang mau minum air kencingnya, apalagi kotorannya.

2.    Tidak Najis

Namun pendapat mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dagingnya, atau halal air susunya, bukan termasuk benda najis.

Misalnya kotoran ayam, dalam pandangan mazhab ini tidak najis, karena daging ayam itu halal. Demikian juga kotoran kambing, sapi, kerbau, rusa, kelinci, bebek, angsa dan semua hewan yang halal dagingnya, maka air kencing dan kotorannya tidak najis.

Pendapat mazhab ini buat perasaan bangsa Indonesia yang sejak kecil terdidik dengan tsaqafah fiqih Asy-Syafi’iyah tentunya terasa sangat asing. Bahkan mereka yang mengaku tidak bermazhab Asy-Syafi’iyah sekali pun, tetap saja memandang  bahwa air kencing dan kotoran hewan, seluruhnya tanpa membeda-bedakan, adalah benda-benda najis.

Namun buat orang-orang yang terdidik dengan mazhab Al-Hanabilah, seperti mereka yang tinggal di Saudi Arabia, ketidak-najisan air kencing dan kotoran unta, kambing, sapi dan sejenisnya, dianggap biasa-biasa saja. Karena sejak kecil mereka diajarkan demikian.

Lalu apa dasar dan dalilnya, sehingga air kencing dan kotoran hewan-hewan itu dianggap tidak najis?
Mereka menyodorkan hadits-hadits, misalnya diriwayatkan bahwa dahulu Rasulullah SAW pernah shalat di bekas kandang kambing.
 
Dulu, sebelum dibangun Masjid Nabawi, Nabi SAW mendirikan shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari Muslim)

Selain itu juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan seorang shahabatnya minum air kencing unta sebagai obat untuk penyembuhan.

Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah. Tidak berapa lama perut mereka menjadi kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mendatangi unta-unta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu unta-unta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)

E. Muntah

Muntah adalah makanan yang sempat masuk ke dalam lambung manusia lalu keluar lewat mulut. Meski dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang secara sengaja memakan muntah, namun dalam banyak kasus terkadang ada orang yang dalam keadaan sakit dan hampir muntah, tetapi tidak keluar dan ditelan kembali.

1.    Muntah Najis

Tentang hukum kenajisan muntah, umumnya ulama mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis. Dasarnya adalah hadis di atas.

Di antara yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Dasarnya adalah bahwa muntah itu adalah makanan yang sudah masuk ke dalam lambung dan telah berubah menjadi rusak dan busuk.

Al-Hanafiyah mengatakan bahwa muntah itu najis apabila memenuhi mulut. Tetapi jika sedikit dan tidak memenuhi mulut, hukumnya dimaafkan

Al-Malikiyah mengatakan bahwa muntah yang najis itu adalah makanan yang telah berubah di dalam perut dan sudah tidak lagi berbentuk makanan. Sedangkan jika wujudnya masih utuh dan belum berubah, hukumnya tidak najis

Jumhur ulama seperti Al-Malikyah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa apa yang dimuntahkan oleh seseorang adalah sesuatu yang hukumnya najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak.
Pendapat ini didukung pula oleh dalil yang lemah seperti hadis berikut.

Wahai Ammar, sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal: kotoran, air kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Ad-Daruquthny) 

Al-Hanafiyah bahkan mengatakan bahwa muntah itu hukumnya najis mughlladzah (najis berat)

2.    Muntah Tidak Najis

Sedangkan Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani mengatakan bahwa muntah itu tidak najis. Dasarnya karena mereka tidak menerima hadis di atas sebagai hadis yang shahih.
Facebook CommentsShowHide

1 komentar:

Assalamualaikum
Apakah muntah hewan seperti kucing najis?

Balas



Diberdayakan oleh Blogger.