Najis Tubuh Manusia

Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas semua najis yang terkait dengan tubuh manusia, baik terkait dengan hukum tubuh manusia itu sendiri, apakah najis atau tidak, juga termasuk potongan-potongan tubuh manusia.  Dan yang lebih penting lagi adalah kajian tentang hukum kenajisan dari benda-benda yang keluar dari dalam tubuh manusia, karena sebagiannya ada yang hukumnya najis, namun sebagian lagi hukumnya memang tidak najis.

A.    Tubuh Manusia Tidak Najis

Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. . . (Q.S. Al-Isra:70)

Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya tubuh-tubuh manusia hukum bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.

1.    Tubuh Orang Kafir

Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana dengan hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir? Apakah tubuh mereka juga suci dan tidak najis, ataukah mereka itu termasuk benda najis, sehingga kalau kita menyentuh kulit mereka, harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah? Pertanyaan ini semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.


إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ



Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, (Q.S. Ataubah: 28)

Dalam hal ini pendapat para ulama atau boleh kita sebut sebagai jumhur ulama, berpendapat meski ada ayat yang menyebutkan kenajisan orang musyrik, tetapi sesungguhnya tubuh mereka tetap suci hukumnya.

Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa orang kafir (musyrik) itu najis sesungguhnya tidak terkait dengan najis secara hakiki atau 'ain, melainkan secara hukmi. Maksudnya tubuh orang tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah.  Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secar fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu  yang najis adalah apa yang mereka yakini sebagai aqidah. Agama dan aqidah orang kafir itulah yang hukumnya najis.

Adapun hujjah bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota bene adalah orang kafir di dalam masjid.
(H.R Abu Daud)
Dari Utsman bin Abil Ash bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)

Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa yang dilakukan oleh sebagian aliran sesat di Indonesia yang menganggap saudara-saudara muslim sebagai orang kafir telah menyalahi dua hal sekaligus :
Pertama, mengkafirkan sesama muslim. Dalam pandangan aliran sesat umumnya semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim. Tentu saja pandangan ini keliru karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaam muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi. Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.

Kedua, menganggap orang kafir itu najis Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal Nabi SAW menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir justru di dalam masjid.

2.    Tubuh Orang Meninggal

Sedangkan status tubuh manusia yang telah meninggal dunia, umumnya para ulama mengatakan hukumnya suci. Namun ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa tubuh manusia yang telah meninggal dunia itu hukumnya najis.

a.    Suci
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, AsySyafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa hukumnya suci dan tidak merupakan benda najis. Sehingga bila seseorang menyentuh jenazah, baik muslim atau kafir, hukumnya tidak mengapa, dalam arti tidak membatalkan wudhu’ dan juga tidak harus dicuci. Dasar hujjahnya adalah pernyataan Rasululah SAW yang dengan tegas menyebutkan bahwa seorang muslim itu tidak najis.

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan kalau dikatakan tidak najis, maksudnya bukan hanya ketika masih hidup, melainkan juga ketika sudah meninggal. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mencium jasad shahabatnya, Utsman bin Ma’dzun radhiyallahuanhu, setelah meninggal dunia.
 
Nabi SAW mencium Utsman bin Madhz’un setelah meninggal dunia. (HR. Tirmizy)

Dan kenyataannya Rasulullah SAW menshalatkan jenazah para shahabat di dalam masjid. Misalnya jasad Suhail bin Baidha’ radhiyallahuanhu.  Bila jasad manusia muslim dianggap najis, maka tentu tidak boleh kita bawa ke dalam masjid untuk dishalatkan. Sebab seharusnya masjid itu harus bebas dari benda-benda najis. Dengan dishalatkannya jenazah beliau di dalam masjid, hal itu menunjukkan bahwa jenazah seorang muslim hukumnya suci dan bukan najis.

b.    Najis
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam, dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, sehingga disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya.  Demikian juga dengan jenazah orang kafir, dalam pandangan mereka hukumnya tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya. Namun bila telah dimandikan, maka hukumnya berubah kembali menjadi suci. Sehingga dalam hal ini, jasad seorang muslim akan menjadi suci, lantaran dimandikan. Sedangkan jasad orang kafir, karena tidak perlu dimandikan, maka hukumnya tetap najis.

B.    Potongan Tubuh Manusia

Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup atau pun pada saat sudah meninggal dunia.

Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa plasenta manusia itu najis, sesungguhnya bisa dikritisi. Mengingat bahwa plasenta itu bagian dari tubuh bayi sejak masih baru terbentuk menjadi janin. Dan ketika bayi itu lahir ke dunia, plasentanya pun ikut keluar juga. Maka hukum plasenta bukan benda najis, sehingga kalau ada obat-obatan tertentu yang terbuat dari bahan plasenta manusia, hukumnya tidak najis. Alasan tidak najisnya potongan tubuh manusia itu tidak najis karena dalam pandangan jumhur ulama, potongan tubuh manusia itu tetap dishalatkan. Dan kalau hukumnya harus dishalatkan, berarti dianggap bukan benda najis.

Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya. Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa plasenta itu najis, barangkali dasar tinjauan fiqih berangkat dari mazhab Al-Hanabilah ini.



Facebook CommentsShowHide

0 komentar



Diberdayakan oleh Blogger.